حُكْمُ عَقْدِ سَلَفٍ وَبَيْعٍ
Di tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISALAM
*****
بسم الله الرحمن الرحيم
HADITS:
Dari Abdullah bin Amr RA, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
(( لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنُ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ))
"Tidak halal meminjamkan dan juga menjual. Tidak halal pula dua syarat dalam satu akad jual beli . Tidak halal pula laba terhadap barang yang tidak dijamin (baik dan buruknya). Serta tidak halal pula menjual apa yang tidak kamu miliki."
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad no. 6671, Al-Tirmidzi (1234), Abu Dawud (3504), Al-Nasa’i (4611), dan disahihkan oleh Al-Tirmidzi dan Al-Albani.
Abu Isa al-Tirmidzy berkata: “Hadits ini hasan shahih.
SYARAH HADITS
Syarah kalimat hadits: “لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ artinya: "Tidak halal menjual dan meminjamkan “
Abu Isa al-Tirmidzy berkata: Ishaq bin Manshur berkata ; Aku bertanya kepada Ahmad; Apa yang dimaksud beliau melarang salaf dan jual beli?
Beliau menjawab: Seseorang meminjamkan uang lalu menjual kepada si peminjam barang karena pinjaman dengan harga lebih (jika tidak ada penjaman maka tidak ada penjualan).
Dan mungkin juga (maknanya): Seorang pembeli meminjamkan uang pada si penjual untuk membeli barang darinya, maka si pembeli berkata ; Jika barang tersebut belum tersedia pada mu maka barang itu aku jual padamu (sehingga si peminjam membayar lebih mahal atas pinjaman uang untuk pembelian barang tsb). (Baca: Sunan Al-Tirmidzi syarah hadits no. (1234)).
Dalam kitab “المعاملات المالية أصالة ومعاصرة” hal. 367 karya Dibyan ad-Dibyaan di katakan:
اتفق العلماء في الجملة على أنه لا يجوز اشتراط عقد البيع في عقد القرض، كأن يقول رجل لآخر: أقرضك بشرط أن تبيعني بيتك بكذا وكذا، فهذا الشرط جرى صريحاً في العقد. وقد يكون الشرط حكماً دون أن ينصا عليه في العقد كما لو كان الشرط جرى به عرف، فلا فرق، فالمعروف عرفاً كالمشروط شرطاً
Para ulama secara umum sepakat bahwa tidak boleh menetapkan akad jual beli dalam akad pinjaman, seperti jika seseorang berkata kepada orang lain:
“Saya meminjamkan Anda dengan syarat Anda menjual rumah Anda dengan harga ini dan itu”. Syarat di sini secara tegas dinyatakan dalam transaksi.
Dan terkadang Syarat itu hanya sebatas hukum saling memaklumi tanpa disebutkan dalam transaski, seperti disebabkan bahwa syarat yang seperti itu sudah menjadi tradisi dan kebiasaan, maka tidak ada bedanya, baik di sebutkan maupun tidak.
Namun Ada sebuah kaidah yang menyatakan:
المعروف عرفاً كالمشروط شرطاً
Sesuatu yang sudah dimaklumi secara tradisi dan kebiasaan, maka hukumnya sama dengan mensyaratkan “. (Kutipan selesai).
Penyebab larangannya (علة المنع) adalah:
إنه ذريعة للربا، فيبيع الرجل متاعه بأقل من قيمته بشرط أن يقرضه المشتري، أو يبيعه بأكثر من قيمته ، بشرط أن يقرضه هو، فيكون ذلك حيلة على قرض جر نفعا
Itu karena dalih untuk riba (pencegahan dari Riba). Agar tidak terjadi adanya seseorang menjual barangnya kurang dari harga yang sebenarnya, asalkan si pembeli mau meminjamkannya uang pada si penjual. Atau menjualnya lebih dari harganya, asalkan si penjual meminjamkan uang pada si pembeli. Maka ini adalah tipu muslihat pinjaman yang membawa manfaat keuntungan “قرض جر نفعا”.
Al-Khoththoobi berkata dalam Ma'aalim as-Sunan (3/141):
" وذلك مثل أن يقول له: أبيعك هذا العبد بخمسين دينارا، على أن تسلفني ألف درهم، في متاع أبيعه منك إلى أجل، أو يقول: أبيعكه بكذا، على أن تقرضني ألف درهم، ويكون معنى السلف: القرض، وذلك فاسد؛ لأنه إنما يقرضه على أن يحابيه في الثمن فيدخل الثمن في حد الجهالة، ولأن كل قرض جَرَّ منفعة فهو ربا"
“Ini seperti ketika dia berkata kepada seseorang: Saya akan menjual hamba ini kepada Anda seharga lima puluh dinar, dengan syarat Anda meminjamkan saya seribu dirham, dalam bentuk barang yang akan saya beli dari Anda dibayar dalam jangka waktu tertentu.
Atau dia berkata: Saya akan menjualnya dengan harga ini, dengan syarat Anda meminjamkan saya seribu dirham.
Dan arti (السلف) di sini adalah: (القرض / pinjaman), dan itu adalah transaksi yang faasid / tidak sah, karena dia itu hanya mau meminjamkan nya secara pilih kasih, yaitu dengan mensyaratkan agar dia meninggikan harga pembelian darinya, maka harga tsb termasuk dalam batas ketidak jelasan. Dan karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat, maka ia adalah riba.” (Akhir kutipan dari Ma'alim al-Sunan (3/141)).
Hukum Syariah melarang itu ; karena untuk mencegah terjadinya riba (سدا لذريعة الربا). Karena jika pemberi pinjaman adalah penjual, maka ia dapat menaikkan harga, sebagai imbalan pinjamannya. Jika dia adalah pembeli, maka dia membeli barang tsb dengan harga murah, sebagai imbalan atas pinjaman untuknya.
Dan jika benar-benar terjadi adanya pilih kasih harga (المحاباة) yang disebabkan hutang piutang, maka itu adalah riba. Dan jika tidak terjadi adanya (المحاباة), maka itu tetap diharamkan melakukan transaksi tsb ; karena untuk mencegah terjadinya riba (سدا لذريعة الربا).
Ibnu Quddaamah berkata:
" ولو باعه بشرط أن يسلفه أو يقرضه، أو شرط المشتري ذلك عليه، فهو محرم، والبيع باطل. وهذا مذهب مالك والشافعي ولا أعلم فيه خلافا، إلا أن مالكا قال: إن ترك مُشتَرِط السلفِ السلفَ: صح البيع"
“Jika si penjual menjualnya pada seorang pembeli dengan syarat si pembeli meminjamkan padanya uang atau menghutanginya. Atau jika si pembeli mensyaratkannya pada si penjual, maka itu diharamkan, dan jual belinya batil / tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i, dan saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat, kecuali Imam Malik berkata: Jika orang yang mensyaratkan pinjaman itu mau meninggalkan syaratnya, maka transaksi jual beli nya menjadi sah." (Baca “المغني” 4/17).
Dan Imam Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata pula:
ولأنه اشترط عقدا في عقد فاسد كبيعتين في بيعة ، ولأنه إذا اشترط القرض زاد في الثمن لأجله فتصير الزيادة في الثمن عوضا عن القرض وربحا له وذلك ربا محرم
“Karena dalam akad seperti ini, pihak penjual mensyaratkan suatu akad dalam bentuk akad lain yang fasid, seolah-olah seperti dua akad jual beli dalam satu transaksi. Dalam transaksi model seperti ini, adanya qardlu (hutang piutang) dapat dijadikan alasan oleh penjual untuk menaikkan harga sehingga menjadi harga baru sebagai imbalan dari hutang dan keuntungan untuknya. Yang demikian itu adalah riba yang diharamkan.” [ Al-Mughni: 4/17 ].
Dan Jumhur ulama mengharamkan penggabungan: antara transaksi hutang piutang dengan semua jenis transaksi bisnis (معاوضة), seperti transaski sewa menyewa (الإجارة), percaloan (السمسرة) dan lain-lain.
Transaksi bisnis / Mu’aawadloh (معاوضة): yaitu akad tukar menukar hak atas dasar timbal balik atau disebut akad tukar menukar. Contoh Bentuk akad mu'awadhah adalah jual beli, ijarah dan Samsarah / percaloan.
Syekhul Islam Ibnu Taymiyyah mengatakan dalam al-Qawaa'id an-Nurooniyyah (211) :
" والمنع من هذه الحيل: هو صحيح قطعا ، لما روى عبد الله بن عمر ، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا يحل سلف وبيع ، ولا شرطان في بيع, ولا ربح ما لم يضمن ، ولا بيع ما ليس عندك) رواه الأئمة الخمسة: أحمد ، وأبو داود ، والنسائي ، والترمذي ، وابن ماجه ، وقال الترمذي: حسن صحيح.
فنهى صلى الله عليه وسلم عن أن يجمع بين سلف وبيع, فإذا جمع بين سلف وإجارة فهو جمع بين سلف وبيع، أو مثله.
وكل تبرع يجمعه إلى البيع والإجارة: مثل الهبة والعارية والعرِيّة والمحاباة في المساقاة والمزارعة وغير ذلك: هو مثل القرض.
فجماع معنى الحديث: أن لا يجمع بين معاوضة وتبرع؛ لأن ذلك التبرع إنما كان لأجل المعاوضة، لا تبرعا مطلقا ; فيصير جزءا من العوض.
فإذا اتفقا على أنه ليس بعوض، جمعا بين أمرين متباينين ; فإن من أقرض رجلا ألف درهم ، وباعه سلعة تساوي خمسمائةً بألفٍ؛ لم يرض بالإقراض، إلا بالثمن الزائد للسلعة; والمشتري لم يرض ببذل ذلك الثمن الزائد، إلا لأجل الألف التي اقترضها؛ فلا هذا باع بيعًا بألف، ولا هذا أقرض قرضا محضا، بل الحقيقة أنه أعطاه الألف والسلعَةَ، بألفين" انتهى.
"Larangan terhadap semua hiilah / tipu muslihat ini adalah shahih yang qoth’i, karena Abdullah bin Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنُ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
"Tidak halal menjual dan meminjamkan, tidak pula dua syarat dalam satu jual beli dan tidak halal laba terhadap barang yang tidak dapat dijamin (baik dan buruknya), serta tidak halal menjual apa yang tidak kamu miliki."
Diriwayatkan oleh lima imam: Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasa'i, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.Al-Tirmidzi berkata: Itu hasan dan shahih.
Maka Beliau SAW melarang menggabungkan pinjaman dan penjualan. Jadi jika dia menggabungkan pinjaman dan sewa menyewa, maka itu adalah kombinasi antara pinjaman dan penjualan, atau yang semisalnya.
Dan semua transaksi tolong menolong atau berderma / تبرُّع (seperti hibah, pinjaman, pilih kasih dalam kerja sama penyiraman kebun, bercocok tanam pertanian, dan lain sebagainya) yang digabungkan dengan transaksi bisnis seperti jual beli atau sewa menyewa, ini semua sama hukumnya seperti penggabungan antara pinjaman (قَرْضٌ) dengan Jual beli.
Makna hadits tersebut adalah tidak boleh menggabungkan antara transaksi bisnis yang saling menguntungkan (معاوضة) dengan pertolongan / derma (تبرع). Karena dengan demikian pertolongan (تبرع) disini pada hakikatnya bertujuan untuk bisnis (معاوضة), bukan murni untuk menolong, maka itu menjadi bagian keuntungan bisnis dari imbalan bertabarru’.
Jika mereka berdua sepakat bahwa pinjaman itu bukan imbalan bisnis, melainkan mereka menggabungkan dua hal yang berbeda, namun pada realitanya: orang yang meminjamkan pada seseorang seribu dirham (قرض) dan dia juga menjual kepada yang diberi pinjaman barang yang harga pasarnya lima ratus dengan harga seribu ; maka dengan demikian pada hakikatnya dia tidak ridho memberikan pinjaman, kecuali dengan kelebihan harga barang-dagangan nya. Dan si Pembeli tidak ridho pula untuk membayar harga tambahan itu, melainkan karena dapat pinjaman seribu.
Maka si penjual ini tidak menjualnya dengan harga seribu, juga tidak murni berniat meminjamkan uang, akan tetapi pada hakikatnya adalah dia memberinya uang seribu dan barang dengan harga dua ribu.
Ibnu al-Qayyim berkata dalam I'laam al-Muwaqqi'iin (3/113):
" الوجه الثاني والعشرون: أن النبي صلى الله عليه وسلم: (نهى أن يجمع الرجل بين سلف وبيع). ومعلوم أنه لو أفرد أحدهما عن الآخر صح, وإنما ذاك لأن اقتران أحدهما بالآخر، ذريعة إلى أن يقرضه ألفا ، ويبيعه سلعة تساوي ثمانمائة بألف أخرى ; فيكون قد أعطاه ألفا وسلعة بثمانمائة ، ليأخذ منه ألفين, وهذا هو معنى الربا, فانظر إلى حمايته الذريعة إلى ذلك بكل طريق " انتهى.
Aspek kedua puluh dua:
Nabi SAW melarang seseorang untuk menggabungkan pinjaman dengan penjualan.
Dan sudah maklum adanya bahwa jika salah satu dari dua transaksi tsb masing-masing terpisah maka masing-masing itu sah hukumnya. Adapun yang dilarang dalam hadits, itu di karenakan adanya penggabungan antara yang satu dengan yang lainnya. Dilarangnya itu sebagai dzarii’ah / pencegahan dari: seseorang meminjamkan seribu, dan dia menjual barang yang harga aslinya 800 dengan harga 1000 lainnya, maka dengan demikian dia telah memberikan uang 1000 dan barang senilai 800, agar dia mendapatkan darinya 2000. Dan ini adalah makna Riba. Maka perhatikan lah pada hadits tsb bagaimana penjagaan Riba dengan menutup celah ke arah nya pada semua jalur “. (Selesai).
Dan Dr. Abdullah bin Muhammad al-‘Amraani berkata dalam “المنفعة في القرض” hal. 198:
" يتبين أن مجرد اشتراط عقد البيع، ونحوه من عقود المعاوضات، في عقد القرض: محرم ؛ لورود النص به ، بسبب كونه ذريعة إلى القرض الربوي، مع أن المنفعة احتمالية ، ومتوقعة، وذلك أنه ربما يزاد في الثمن ، وربما لا يزاد ؛ ولكن الغالب أن يزاد، وهذا مما يكثر القصد إليه عند من يتعاقد بهذه الصفة " انتهى.
“Nampak jelas bahwa hanya sekadar mensyaratkan transaksi jual beli saja dan juga transaksi-transaksi bisnis lainnya yang serupa dalam transaksi pinjaman (قَرْضٌ): itu diharamkan.
Karena adanya nash dalam masalah tsb, dan larangan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pinjaman riba, meskipun manfaatnya belum pasti dan hanya sebatas kemungkinan. (Selesai)
IJMA PARA ULAMA:
Dan telah diriwayatkan adanya Ijma’para ulama tentang haramnya menggabungkan pinjaman dengan jual atau beli.
Al-Qorroofii berkata:
" وبإجماع الأمة على جواز البيع والسلف مفترقين، وتحريمهما مجتمعَين؛ لذريعة الربا"
“Dan dengan ijma’ ummat tentang bolehnya transaksi jual beli dan hutang piutang yang terpisah. Dan haramnya jika digabungkan, karena untuk menutup celah adanya riba.” (Baca: “الفروق” 3/266)
Abu Abdullah Al-Haththoob Al-Ru’aini Al-Maliki berkata dalam Mawaahib al-Jalil 4/391:
" واعلم أنه لا خلاف في المنع من صريح بيع وسلف "
“Ketahuilah bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai larangan penggabungan penjualan dan pinjaman secara shariih / dinyatakan secara jelas.”
Al-Baaji berkata dalam al-Muntaqaa 5/29:
" لا يحل بيع وسلف، وأجمع الفقهاء على المنع من ذلك"
“Tidak boleh penjualan dan peminjaman, dan para ulama ahli fiqih telah ber ijma’ bahwa itu dilarang.”
Al-Zarkashi berkata dalam al-Bahrul Muhith 8/91:
" وبالإجماع على جواز البيع والسلف مفترقين، وتحريمهما مجتمعين للذريعة إليها ".
"Dengan suara bulat (Ijma’), tentang bolehnya transaksi jual beli dan hutang piutang yang terpisah. Dan haramnya jika digabungkan, karena untuk menutup celah menuju kepada riba”.
SECARA LOGIKA:
Dibyan ad-Dibyaan dalam kitab “المعاملات المالية أصالة ومعاصرة” hal. 369-370 berkata:
إن اشتراط البيع في عقد القرض، أو العكس كاشتراط القرض في عقد البيع يخرج القرض عن موضوعه، وذلك أن القرض من عقود الإحسان والإرفاق، يجوز فيه ما لا يجوز في البيع من مبادلة الربوي بمثله مع عدم التقابض، فإذا ارتبط بعقد البيع عن طريق الشرط أصبح له حصة من العوض، فحصلت بذلك مفسدتان:
المفسدة الأولى: إخراج عقد القرض عن موضوعه ومقتضاه، وهو الإرفاق والإحسان, وهذا يؤدي إلى بطلانه، وبطلان عقد البيع.
المفسدة الثانية: أن القرض إذا أصبح له حصة من العوض أفضى ذلك إلى جهالة الثمن، وذلك لأن مقدار هذه الحصة مجهولة، فتعود بالجهالة على الثمن كله.
Sesungguhnya syarat jual beli dalam akad pinjaman, atau sebaliknya, contohnya seperti mensyaratkan pinjaman uang dalam akad jual beli, maka akad pinjaman itu adalah bentuk penyimpangan dari subjeknya, karena transaksi pinjaman itu masuk dalam akad kebajikan dan kasih sayang antar sesama.
Berarti di dalam nya terdapat hukum membolehkan sesuatu yang dilarang, yaitu membolehkan jual beli barang ribawi dengan yang semisalnya tanpa serah terima (التقابض).
Jika ini dikaitkan dengan transaksi penjualan melalui syarat tersebut, maka si pemberi pinjaman akan mendapat bagian keuntungan dari transaksi tsb.
Dengan demikian terdapat dua mafsadah di dalamnya:
Mafsadah pertama:
Mengeluarkan akad pinjaman dari subjeknya dan konsekwensinya, yaitu kasih sayang dan kebajikan, dan ini mengarah pada ketidakabsahannya, dan ketidakabsahan akad jual beli.
Mafsadah kedua:
Jika pinjaman itu menjadi bagian dari transaksi bisnis, maka ini akan mengarah pada ketidak jelasan tentang harga, karena jumlah bagiannya tidak diketahui, sehingga dengan ketidak jelasannya itu berdampak pada ketidak jelasan seluruh harga.
RINGKASNYA:
Jika dalam transaksi Penjualan dan peminjaman itu terdapat pilih kasih (ada maunya atau ada udang dibalik batu), atau kenaikan harga, maka diharamkannya itu karena riba.
Jika tidak ada pilih kasih, maka larangan tsb sebagai dzari’ah / pencegahan dari riba.
WALLAHU A’LAM
0 Komentar